Beberapa Poin untuk Mengkristenkan Jawa

beberapa poin yg nyangkut:

Ada upaya2 dari pihak kristen utk mengaburkan sejarah. beberapa di antaranya adalah :
- membuat pernyataan2 bahwa misionaris yg datang di indonesia itu sudah ada sebelum kedatangan kolonialis,
- dengan kata lain, mereka mencoba meyakinkan bahwa kolonialis itu murni faktor ekonomi, sehingga tak ada sangkut pautnya dengan misionaris (begitu pula sebaliknya).

Menurut pembicara pertama, sebenarnya pernyataan2 dari nasrani di atas adalah klaim yg mudah dibantahkan. Sayangnya, umat Islam belum menuliskan & mencatat sejarah perjuangannya dengan baik. Sehingga kalah dengan klaim2 yg sudah dikemas sedemikian bagusnya hingga dipercaya sbg sebuah kebenaran yg tak perlu diperdebatkan lagi.

Misalkan di Solo, terdapat jalan utama yg dinamakan Jalan Slamet Riyadi. Siapa Slamet Riyadi? Nama lengkapnya adalah Ignatius Slamet Riyadi. Memang dia dianggap berjasa dalam penumpasan DI/TII, namun tidak ada kontribusi khusus utk Solo. Sedangkan pada saat yg sama, H. Samanhudi, pendiri Sarikat Dagang Islam (yang sudah jelas2 kontribusinya untuk Solo khususnya dan pergerakan kemerdekaan Indonesia secara umum) hanya dijadikan nama sebuah jalan kecil di Solo.

Oleh pihak misionaris, dibikinlah Ignatius Slamet Riyadi tampak berjasa dan cukup pantas untuk dikenang. Sehingga lobi mereka ke pemerintah daerah membuahkan hasil dijadikannya nama Slamet Riyadi sbg nama jalan utama di Solo. Sekali lagi, inilah pentingnya pencatatan sejarah umat Islam. Kita kalah bersaing karena tak adanya data2 yg bisa dijadikan sandaran kuat.

Akibat lain dari kurang baiknya penulisan sejarah umat adalah lepasnya "kepemilikan" atas tradisi2 masyarakat Jawa. Berdasarkan penuturan pembicara dari Pusat Studi Pemikiran Islam tsb, cukup banyak tradisi budaya Jawa yang bukan peninggalan Hindu maupun Buddha. Justru kedatangan Islam ke Jawa juga membawa dan membuat beberapa tradisi baru dan lestari sampai sekarang. Mayoritas dari tradisi itu yang kemudian digunakan untuk meraih hati masyarakat Jawa sehingga tertarik memeluk Islam.Artinya, dulu tradisi Jawa adalah perangkat da'wah dalam transisi Hindu-Buddha menuju Islam.

Seiring berjalannya waktu, banyak dari tradisi tadi yang identitas ke-Islam-annya memudar. Para penggiat tradisi dan umat Islam kebanyakan sudah mulai melupakan nilai-nilai Islam yang terkandung di dalamnya. Hingga akhirnya hal ini dimanfaatkan kaum misionaris.

Islam dan tradisi Jawa yang sudah renggang makin dijauhkan lagi. Sehingga tak jarang  umat Islam justru tak mau tahu tentang tradisi2 Jawa yg dulunya adalah milik mereka. Di sisi yang lain, kemudian muncul "kejawen". Pelestari tradisi Jawa yang juga sudah tidak mau tahu tentang nilai2 Islam yg seharusnya ikut dilestarikan. Hal ini dimanfaatkan misionaris untuk de-Islam-isasi masyarakat Jawa.

Islam "kejawen" beda dengan Islam "abangan". Kalau abangan, sejarang-jarangnya dia sholat, separah-parahnya dia judi dan mabuk2an, ketika keluarganya meninggal, setidaknya dia masih menyerahkan prosesi kematian kepada kalangan ulama dan santri. Kalau kejawen, sudah dari segi aqidahnya yang tersusupi. Ada yg bagi mereka, Tuhan itu terbagi menjadi 3, persis sebagaimana trinitas yg dipercaya Kristen.

Misionaris di Indonesia itu dilakukan dengan lihai. Banyak cerita dimana sebuah kampung yg 100% Islam didatangi hanya oleh 1 keluarga nasrani. Mereka menetap di sana dan membaur dengan masyarakat. Satu per satu rumah tangga di sekitarnya kemudian dimurtadkan dan muncullah komunitas misionaris di kampung itu.

Pembicara kedua menjelaskan bahwa kaderisasi misionaris itu sudah dimulai semenjak masa playgroup. Anak-anak umur 3 tahun sudah dididik agar bersikap baik, sopan, dan ramah kepada orang banyak. Namun di saat bersamaan, mereka juga didoktrin untuk tidak mau diajak bicara kepada muslim.

Buktinya adalah kejadian yang menimpa pembicara. Ibu yang notabene seorang mualaf ini tidak dihiraukan oleh ponakannya yg masih kecil yg dididik di gereja. Kejadian ini terjadi tak hanya sekali, melainkan terjadi berulang kali dan ponakannya itu konsisten dgn sikapnya. Ketika ditanya kenapa, anak itu malah menyalahkan pembicara. "Salah sendiri bude makai kerudung besar."

Juga pengalaman beliau sebagai anak didik gereja semasa kecil dulu. Dirinya sudah diajarkan utk mengajak teman-temannya yg muslim agar mau berangkat sekolah minggu. Dan itu dilakukan seorang diri. "Kalau sekolah minggu enak lo, nanti dapat roti. Besok kalau natal bisa dapat tas dan sepatu baru." Kaderisasi ini terus berlanjut dan meningkat sesuai tingkatannya.

Utk saat ini, para misionaris sedang gencar-gencarnya meneruskan church marketing. Mereka tidak langsung mengajak dialog agama, namun menampakkan sikap perhatian dan mau membantu kepada semua orang. Dibangunnya sekolah2, rumah sakit, dan tempat pelayanan publik lainnya. Bahkan lulusan stikes aisyiyah solo pun diberi kedudukan khusus di rumah sakit nasrani. "Jangan khawatir, kami mempunyai perawat muslim. Kalau pasien meninggal, perawat muslim kami siap mengurus jenazah secara Islam. Atau ketika sakaratul maut, kami juga bisa membimbingnya menuju wafatnya."

Tujuannya agar mereka mampu meyakinkan bahwa pelayanan yg diberikan di rumah sakit mereka lebih baik dibanding rumah sakit lain, terutama milik umat Islam. Sehingga mereka lebih dipercaya di masyarakat, bahkan oleh orang2 muslim. Dan uang yg didapat bisa diputar lagi utk misi2 mereka.

Church marketing ini adalah upaya kristenisasi dengan rute seperti obat nyamuk. Diputar terlebih dahulu hingga akhirnya sampai ke tujuan utama di tengah secara tidak sadar. Bukan langsung ditembak menuju ke tengah.

Pembicara pertama menceritakan kisah yg ironis. Di sekolah2 Belanda dulu, mereka benar2 melakukan "jemput bola" terhadap anak2 yg dimasukkan ke dalamnya. Ada sebuah sekolah utk pendidikan guru, yg khusus dibangun dlm rangka kaderisasi. Setiap sekolah pada jenjang sebelumnya dimonitor siswa2nya utk dipilih yg terbaik utk dimasukkan di sekolah pendidikan guru tadi. Ketika sudah ditemukan targetnya, mereka bersedia menawari secara langsung, bahkan mendatangi orangtuanya utk meyakinkan. Dijanjikan masa depan yg cerah jika mau disekolahkan  mereka. Anak2 tadilah yg akan dicetak sbg priyayi, kepanjangan tangan Belanda. Dan tak aneh, memang kalangan priyayi ketika itu memiliki kedudukan tinggi di masyarakat Jawa, karena adanya dukungan Belanda.

Alkisah seorang cucu kyai disekolahkan di sekolah Belanda tsb. Anak 13 tahun yg awalnya setiap diajak kakak kelasnya utk masuk kristen selalu dibalas dengan ajakan berkelahi, akhirnya luluh ketika setiap harinya berinteraksi dgn kelembutan yg ditunjukkan pastur di sana. Di sekolah boarding (asrama) itu, interaksi berjalan terus menerus, hingga ia begitu terkesan ketika pastur menjawab, "Kami tidak diberi gaji, kami murni menjalankan ini utk umat." Dan dari sekolah itu, semua lulusannya dapat dipastikan sudah memeluk kristen, padahal siswa2 yg masuk kebanyakan adalah masyarakat pribumi yg notebene muslim.

Begitulah kaum misionaris menurut pembicara kedua, semua dilakukan demi mendapatkan jamaah. Begitu sudah mendapat jamaah, dikatakan kepada mereka, "Kamu sudah diberkati oleh Kristus. Sekarang giliranmu utk mengabdi kepadanya." Tak heran, banyak jamaahnya yg taat melaksanakan "perpuluhan". 1/10 penghasilannya diberikan kepada gereja rutin tiap bulannya. Berbeda dengan banyak muslim Indonesia. Perintah zakat mal 2,5% yg hanya dibayar sekali dlm setahun saja sulit. Apakah tidak rasa mengabdi kepada agama yg sama dgn yg ditunjukkan jamaah kristen?

Padahal berdasarkan penjelasan pembicara pertama, Nasrani itu adalah salah satu agama yang lemah dari segi teologi. Di Eropa, persaingan antara Kristen dengan Katolik sangat sengit. Di kawasan Katolik, dilarang pembangunan gereja Kristen. Pun sebaliknya. Belum lagi dgn adanya aliran2 lain. Aliran semacam Ahmadiyah pun ada, dimana mereka mengaku mempunyai Nabi dan kitab suci lagi. Ada juga yg tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan. Dan masih banyak lagi. Rebutan jamaah di antara mereka adalah hal biasa. Masalahnya umat Islam tidak mau tahu tentang urusan semacam ini. Kalaupun ada yg tahu, sedikit yg mengkaji dan mengungkapnya lagi. Seharusnya, kristologi itu juga diajarkan dalam pendidikan Islam, sebagaimana nasrani itu mendidik kader2 mereka tentang cara melakukan de-Islam-isasi.

Pendidikan Islam di Indonesia cukup miris. Anak2 yg mengikuti TPA, setelah itu, tidak ada pendidikan yg mencukupi. Kebanyakan orangtua pun lebih mementingkan anak mereka agar berprestasi di bidang akademik sekolah, sehingga melupakan pendidikan agama. Padahal pada jenjang TPA, mereka baru diajar membaca Al-Qur'an saja, belum sampai mengkaji Al-Qur'an. Sehingga sudah menjadi fenomena umum, anak dan remaja mengaku Islam tapi kelakuannya malah mencemari citra Islam.

Di sisi lain, masih ada yg tetap menimba ilmu Islam di tengah lingkungan yg tak begitu mendukung. Namun karena adanya gap (jarak) yg cukup mencolok antara realita dengan konsep bagaimana Islam seharusnya, aktivis2 Islam ini kemudian membuat jarak dengan masyarakat bahkan keluarganya sendiri. Jika kondisi di dua sisi ini, baik yg menimpa umat Islam awam dan yg menimpa kalangan aktivis, tak segera dibenahi maka kristenisasi akan tetap marak mencengkram umat.

Dari Bedah Buku "Mengkristenkan Jawa", Masjid Mujahidin UNY, Sabtu 7.3.2015.

What's on Your Mind...