"Ini hari apa? Teteh sudah tidak kuat lagi, hanya bisa sampai disini saja,"

Saat pertama melihat dan bertemu dengan teh Een Sukaesih, saya tercekat dan tertegun. Saat bertemu itu usia teh Een masih 44 tahun pada 11 Desember 2007. Bagaimana tidak dengan keterbatasan tubuhnya dan yang bergerak hanya kepala saja tapi bisa memberikan hal yang paling bermamfaat yakni mendidik dan mengajar anak-anak di kamarnya yang sempit.

Saat wawancara itu, Een mengaku kenal dengan suara saya ketika saya memperkenalkan diri. "Saya selalu mendengarkan acara radio Opini Radio Citra setiap hari yang Ayi Deddi dan Kris pandu," kata Een.

Tahun 2000-2003, saya memang memandu acara radio bersama Kris. Ia mengaku sempat mengirim surat ke radio Citra dan meminta rekaman presiden Soekarno yang sedang berpidato. Saat memandu acara di radio, kami memang kerap memutarkan penggalan pidato Bung Karno itu.
"Untuk menambah pengatahuan saya selalu mendengarkan radio. Saya tak bisa baca koran karena mata sudah tidak mampu membaca. Kalau nonton televisi saya tidak suka," katanya.
Menurut dia, acara di televisi banyak yang tak ada mamfaatnya. "Banyak yang buka-bukaan dan itu tak mendidik. Saya hanya ingin beribadah sambil menungu panggilan sang pencipta. Kalau saya nonton, saya akan berdosa," katanya dengan mata menerawang melihat ke langit-langit kamarnya.

Pertemuan itu terus berlanjut. Bahkan tak jarang teh Een mengirimkan SMS ke saya untuk bertanya soal mata pelajaran anak didiknya terutama tentang kondisi aktual. Kalau ada pertanyaan yang bisa dijawab, saya langsung menjawabnya tapi kalau tidak, saya minta waktu dan mencari di mbah gugel.

Een mengidap penyakit radang sendi ketika berusia 18 dan masih sekolah di SPG, 1981 sampai akhirnya lumpuh total pada 1987. "Penyakit itu mulai terasa ketika tahun 1981 saat saya masih sekolah di SPG," kenang Een.
Ia mengisahkan, saat penyakit itu datang menderanya, seluruh persendian terasa sakit. "Sempat dibawa berobat ke rumah sakit dan disebutkan menderita penyakit rematik. Kalau penyakit itu datang luar biasa sakitnya," katanya.
Karena tak kunjung sembuh, Een yang mendapat bea siswa dari Yayasan Super Semar karena kecerdasannya itu diperiksa ke Bandung. "Ketika diperiksa di Bandung hasil laboraturium menyebutkan saya positif menderita radang sendi ganas. Penyakit ini langka dan hanya 2 persen manusia yang mengidapnya di dunia," katanya.

Ditengah derita penyakitnya itu, Een terus sekolah dan diterima di program D III IKIP. Bahkan ia bisa lulus dari IKIP walaupun penyakit itu terus menderanya. "Ketika praktek kerja lapangan (PKL) untuk mengerjakan tugas akhir, saya hampir tak selesai karena saat itu menderita sakit yang luar biasa," katanya. Een bisa lulus dari IKIP Bandung dengan penyakit yang dideritanya pada tahun 1985.

Ia kemudian melamar menjadi guru PNS dan lulus diterima menjadi CPNS dan sempat mengajar sebulan di SMA Sindanglaut Cirebon. "Saya menganggur setahun karena sakit dan pada tahun 1987 ikut tes guru CPNS dan lulus serta sempat mengajar satu bulan," katanya.
Namun, setelah sebulan mengajar, Een langsung lumpuh dan ia gagal ikut pra jabatan untuk menjadi PNS. "Saya lumpuh sejak tahun 1987 dan setelah itu tubuh saya semakin mengecil," katanya.

Sebagai manusia, Een sempat putus asa. Een membakar seluruh ijazah SD, SMP, SPG, DIII IKIP termasuk rapot dan segala dokumen tentang pendidikannya. "Jujur saja saya menyesal kenapa saat itu membakarnya tapi penyesalan berkepanjangan juga tidak baik," katanya.
Ia mengatakan membakar semua dokumen tentang pendidikan agar tidak membebani pikirannya. "Tadinya agar tidak stres, tapi sudahlah itu sudah terjadi dan saya sekarang tanpa surat-surat itu masih bisa mengajar dan berbagi ilmu pengetahuan," katanya.

Hidup harus dijalani Een. Dengan keterbatasan karena lumpuh, Een tak ingin hanya menyusahkan orang lain. "Hidup saya ini harus bisa bermamfaat. Sesederhana apapun perbuatan harus dilakukan dan memberikan mamfaat bagi orang lain. Saya sungguh iklas melakukan apa yang saya lakukan dengan membimbing anak-anak belajar," kata Een.

Ya, keiklasan itulah yang menjadikan Een memberikan mamfaat bagi semua orang. Saat melakukan wawancara, saya selalu tercekat mendengar ceritanya begitu juga ketika sedang menulis naskah berita tentang teh Een ini.
Saya membayangkan tentang rasa sakit yang luar biasa ketika tubuhnya terus digerogoti penyakit. Bahkan ketika rasa sakit datang itu, tubuhnya kalau dipegang sangat sakit luar biasa.

Saat sakit yang sangat luar biasa dan harus dirawat, teh Een kerap menolak. "Teh Een selalu menolak dibawa ke rumah sakit. Kalau ada anak-anak sekolah yang datang untuk belajar atau mengerjakan PR selalu dilayani dan ia menyebutkan sembuh kalau berkumpul dengan anak-anak," kata Tati Haryati, adiknya Een.

Bahkan ketika akan dibawa ke rumah sakit, Teh Een masih memikirkan anak didiknya yang sedang mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). "Waktu mau dibawa ke rumah sakit sempat menolak dengan menyebutkan bagimana dengan anak-anak yang sedang UAS dan butuh belajar," kata Tati.

Ya, iklas itu hal yang gampang dikatakan tapi sulit dilakukan. Tapi Teh Een malah sudah melakukannya sampai maut menjemputnya dan sampai akhir hayatnya itu mendidik dan mengajar anak-anak.

"Ini hari apa? Teteh sudah tidak kuat lagi, hanya bisa sampai disini saja," kata Een setengah berbisik ke Tati Haryati adiknya sesaat setelah masuk rumah sakit dan akhirnya koma.

Itulah, kata terakhir yang terucap dari guru pejuang sebelum maut menjemputnya, Jumat 12 Desember 2014, pukul 15.20. 
Saya bertemu pertama Desember 2007 dan bertemu terakhir Desember 2014.

Wilujeng angkat Teh Een..... [deddirustandi]

What's on Your Mind...